Cahaya matahari yang membias masuk ke dalam kamar melalui celah-celah ventilasi, membuat Hanna terbangun dari tidurnya. Tak ada yang istimewa dalam kepribadian Hanna yang membedakan dirinya dengan anak-anak lain pada usia 14 tahun. Tinggal bersama ayah dan dua orang kakak di rumah yang cukup mewah dan tak ada kekurangan apapun. Hanya satu hal yang tidak dimiliki Hanna sejak lahir yaitu, kasih sayang seorang ibu. Namun, hal itu tidak membebani pikirannya. Sampai suatu saat Hanna mengetahui semua rahasia yang tersimpan dari kehidupannya selama ini.
Hanna tidak sengaja menjatuhkan tumpukan video yang tersusun rapi diatas meja kerja ayahnya. Hanna berusaha merapikan kaset-kaset tersebut. Pandangan Hanna teralih karna melihat judul disalah satu kaset yang bertuliskan “Memories”. Dari sekian banyak kaset yang ada, hanya kaset itu yang diberi judul rapi dengan tulisan tangan. Rasa penasaran yang membuat Hanna lupa akan merapikan kaset-kaset itu sebelum ayahnya tiba di rumah.
Sebuah ruangan kerja yang berisi begitu banyak buku, kaset video, dan dokumen penting. Mungkin bias disebut perpustakaan pribadi dibanding ruang kerja karena, begitu luasnya ruangan itu. Hanna sudah sering keruangan ituselagi ayahnya tidak dirumah.hanna memasukan kaset video kedalam video player dan memutarnya. Menempati sofa tunggal di depan layar televisi yang telah dihubungkan dengan video player yang akan memutar isi dari video tersebut.
Judul “Memories” muncul diawal rekaman itu. Seorang pria tampan memberikan seikat bunga mawar kepada wanita cantik yang mengenakan gaun putih yang membuatnya tambah terlihat cantik dengan sentuhan mawar merah yang diberikan pria tadi. Hanna tahu pria yang ada dalam video itu adalah ayahnya. Lalu, Hanna meneteskan air mata karena, pertama kalinya selama 14 tahun, yang ia yakin bahwa wanita tersebut adalah ibunya.
Selama 14 tahun lamanya, Hanna tidak pernah merasakan sentuhan hangat dari seorang ibu. Begitu pula ayahnya yang melarang kedua kakaknya untuk memberi tahu Hanna tentang ibunya sendiri. Bahkan Hanna tidak diperlihatkan foto ibunya kepadanya. Hanna tidak tahu dimana foto-foto ibunya diletakan dan kenapa foto-foto itu disimpan. Tidak ada satupun foto ibunya yang terpasang di dinding ataupun terpajang di photo frame.
Sebelum Hanna selesai melihat seluruh isi video, ayahnya kembali dari rapat penting yang telah ia hadiri. Ayahnya adalah seorang pekerja keras, tegas, dan tepat waktu. Melihat Hanna ada di ruang pribadi miliknya, ia pun menyuruh Hanna keluar dengan paksa.
“ Apa yang lakukan di ruanganku? ’’ bentak ayahnya.
“ A.. Aku… ’’ gagap Hanna.
“ Jangan pernah masuk ke ruangan itu tanpa seizinku! Bagaimana kalau buku-buku hilang atau dokumen-dokumen pentingnya juga hilang? Lalu, apa yang sudah kau lakukan dengan kaset video tadi? ’’
“ Ibu... ’’ Hanna mengatakan dengan jelas.
“ Apa, apa yang kau katakan? ”
“ Kenapa ayah tidak pernah memperlihatkan video itu padaku? ”
“ Memangnya harus kuperlihatkan padamu? ”
“ Tapi kenapa? ”
“ Tidak panting kau bertanya kenapa. Aku sudah berikan keleluasaan untukmu tinggal disini dan kau merasa tercukupi, bukan? Aku tidak suka orang lain masuk ke ruanganku tanpa izin dariku! ”
“ Aku bukan orang lain, melainkan anak kandung ayah sendiri. ”
“ Ya, memang. Kakak-kakakmu Joe maupun Evan tidak berani masuk tanpa izin dariku! ”
“ Kenapa ayah bersikap seperti ini padaku? Selama 14 tahun, aku tidak pernah tahu tentang ibu kandungku sendiri. Setiap kali aku bertanya pada Joe ataupun Evan tapi, mereka tidak pernah mau menceritakannya. ” isak Hanna.
“ Tidak perlu kau meneteskan air mata dihadapanku. Joe dan Evan, memang aku yang menyuruh mereka untuk tidak menceritakan apapun kepadamu! ”
“ Tapi kenapa? Kenapa aku tidak boleh mengenal ibuku? ”
“ Kau ingin tahu, kenapa tidak menceritakan semua hal tentang istriku kepadamu? Dan juga kenapa aku bersikap seperti ini kepadamu? Ini semua karena kau! ”
“ Karena aku? ” heran Hanna.
“ Ya, karena kau! Wanita yang paling kucintai meninggal. Dia meninggal setelah melahirkanmu! Kau yang menyebabkan istriku meninggal. Paham kau sekarang kenapa aku bersikap ini kepadamu? ”
Hanna hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya dan air matanya tetap mengalir di pipinya.
***
Hanna menangis sepanjang malam, tiada hentinya. Memikirkan perkataan ayahnya yang membuat rasa bersalah pada dirinya semakin besar.
“ Aku yang menyebabkan ibu meninggal. Karena itu sikap ayah berbeda kepadaku. Semua karena aku. Apa yang harus aku lakukan? ” pikir Hanna terus-menerus.
Keesokan paginya, semua hadir sewaktu sarapan. Kecuali Hanna yang masih berada di kamarnya. Kedua kakak Hanna tidak mengetahui kejadian kemarin. Siang harinya, Hanna turun dari kamarnya menuju ruang keluarga. Evan belum pergi kuliah saat itu.
“ Tidak biasanya kau bangun siang. Ada apa? ” Tanya Evan.
“ Tidak ada apa-apa. ” jawab Hanna singkat.
“ Lalu, kenapa matamu sembab seperti sehabis menangis? ”
“ Oh, ini. ” sambil mengusap-usap matanya. “ Aku hanya tidak bisa tidur semalam. ”
“ Kalau begitu, lebih baik kau makan terlebih dahulu. Pagi tadi kau tidak ikut sarapan. ” Evan menyarankan. “ Mau kubuatkan sesuatu? ”
“ Ya. ” jawab Hanna dengan senyum dan anggukan kecil.
Evan sangat pandai memasak tapi, akhir-akhir ini Hanna jarang menikmati makanan yang dibuat kakaknya karena kesibukan Evan membuat skripsi dan mengikuti ujian praktek. Evan memilih mengambil pendidikan sebagai dokter dibanding meneruskan bisnis yang diberikan oleh ayahnya. “ Otakku tidak bisa digunakan untuk persoalan bisnis. “ pikir Evan. Ada benarnya juga, dari pada saling berebut untuk mandapatkan sebuah tender lebih baik menolong orang banyak. Lebih bermanfaat.
“ Pasta kesukaanmu. ” Evan memberikan piring yang berisi pasta dengan taburan keju diatasnya kepada Hanna yang sudah menunggu di meja makan.
“ Terima kasih. ”
“ Kau ada masalah? ” tanya Evan yang masih penasaran dengan sikap tidak biasa adiknya.
“ Ah, apa? Tidak ada. ”
“ Aku rasa ada yang aneh denganmu. ”
“ Tidak ada apa-apa, Kak. Pasta buatan kakak tiada duanya. Enak. ” Hanna mengalihkan pertanyaan Evan dengan mengomentari rasa Pastanya.
“ Kau tidak meminjam buku dari ruangan ayah lagi hari ini? ”
“ Oh, mungkin nanti. Memang kenapa? ’’
“ Biasanya setiap pagi setelah ayah pergi, kau langsung ke ruangan ayah. ”
“ Buku yang kemarin belum kubaca seluruhnya. Jadi, aku mau baca buku itu sampai selesai. Lalu, aku akan ke ruangan ayah untuk pinjam buku yang lain. ”
“ Ada yang kau sembunyikan dariku, Hanna? ”
Hanna tidak menjawab dan tetap melanjutkan memakan makanannya.
“ Hanna, jawab aku! Aku bukan baru mengenalmu hari ini. Aku tahu semua sifatmu, dan hari ini kau begitu berbeda dari biasanya. Ada apa sebenarnya? Bicara jujur padaku! ”
Hanna masih tetap diam. Tanpa mengucapkan satu katapun.
“ Hanna! ” tegas Evan.
Joe yang baru pulang dari latihan basket rutinnya, langsung menghampiri mereka berdua ke ruang makan.
“ Ada apa ini? ” tanya Joe heran.
“ Tidak ada apa-apa. ” jawab Hanna.
“ Jangan berbohong! Aku juga sudah merasa kalau ada sesuatu yang terjadi yang tidak aku dan Evan ketahui. ” duga Joe.
“ Sudah aku bilang, tidak ada apa-apa. Jika, aku punya masalah pasti aku cerita pada kalian, kan? ”
Semua terdiam sejenak. Tiba-tiba…
“ Apa, apa semua karena aku? ”
Evan dan Joe saling pandang. Lalu, menatap Hanna kembali. Menunggu kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya.
“ Ayah menyuruh kalian untuk tidak memberitahukan kepadaku tentang ibu. Benar begitu, kan? ”
“Evan dan aku… Eh, apa? Bagaimana kau bisa tau? ’’
“ Jadi semua itu benar. Aku yang menyebabkan ibu meninggal. Ibu meninggal karena melahirkanku, kan? Bisa dibilang, aku yang membunuh ibu kandungku sendiri! ”
“ Hanna, jaga bicaramu! ” bentak Evan.
“ Jadi, kau sudah tau semua? ”
“ Ayah yang memberitahumu? ”
Hanna tidak merespon apapun.
“ Aku akan menelepon ayah. ” usul Joe.
“ Jangan! ” Evan melarang.
“ Kenapa? ”
“ Biar ayah yang memutuskan. ”
***
Tiga hari sudah berlalu. Tak ada satupun yang mengungkit masalah itu. Hanna sudah tidak pernah masuk ke ruangan ayahnya semenjak kejadian yang membuat dirinya terus merasa bersalah. Menghabiskan waktunya dengan cara mendengarkan musik apapun yang terdengar bagus untuk didengar. Jika tidak
Hanna tidak sengaja menjatuhkan tumpukan video yang tersusun rapi diatas meja kerja ayahnya. Hanna berusaha merapikan kaset-kaset tersebut. Pandangan Hanna teralih karna melihat judul disalah satu kaset yang bertuliskan “Memories”. Dari sekian banyak kaset yang ada, hanya kaset itu yang diberi judul rapi dengan tulisan tangan. Rasa penasaran yang membuat Hanna lupa akan merapikan kaset-kaset itu sebelum ayahnya tiba di rumah.
Sebuah ruangan kerja yang berisi begitu banyak buku, kaset video, dan dokumen penting. Mungkin bias disebut perpustakaan pribadi dibanding ruang kerja karena, begitu luasnya ruangan itu. Hanna sudah sering keruangan ituselagi ayahnya tidak dirumah.hanna memasukan kaset video kedalam video player dan memutarnya. Menempati sofa tunggal di depan layar televisi yang telah dihubungkan dengan video player yang akan memutar isi dari video tersebut.
Judul “Memories” muncul diawal rekaman itu. Seorang pria tampan memberikan seikat bunga mawar kepada wanita cantik yang mengenakan gaun putih yang membuatnya tambah terlihat cantik dengan sentuhan mawar merah yang diberikan pria tadi. Hanna tahu pria yang ada dalam video itu adalah ayahnya. Lalu, Hanna meneteskan air mata karena, pertama kalinya selama 14 tahun, yang ia yakin bahwa wanita tersebut adalah ibunya.
Selama 14 tahun lamanya, Hanna tidak pernah merasakan sentuhan hangat dari seorang ibu. Begitu pula ayahnya yang melarang kedua kakaknya untuk memberi tahu Hanna tentang ibunya sendiri. Bahkan Hanna tidak diperlihatkan foto ibunya kepadanya. Hanna tidak tahu dimana foto-foto ibunya diletakan dan kenapa foto-foto itu disimpan. Tidak ada satupun foto ibunya yang terpasang di dinding ataupun terpajang di photo frame.
Sebelum Hanna selesai melihat seluruh isi video, ayahnya kembali dari rapat penting yang telah ia hadiri. Ayahnya adalah seorang pekerja keras, tegas, dan tepat waktu. Melihat Hanna ada di ruang pribadi miliknya, ia pun menyuruh Hanna keluar dengan paksa.
“ Apa yang lakukan di ruanganku? ’’ bentak ayahnya.
“ A.. Aku… ’’ gagap Hanna.
“ Jangan pernah masuk ke ruangan itu tanpa seizinku! Bagaimana kalau buku-buku hilang atau dokumen-dokumen pentingnya juga hilang? Lalu, apa yang sudah kau lakukan dengan kaset video tadi? ’’
“ Ibu... ’’ Hanna mengatakan dengan jelas.
“ Apa, apa yang kau katakan? ”
“ Kenapa ayah tidak pernah memperlihatkan video itu padaku? ”
“ Memangnya harus kuperlihatkan padamu? ”
“ Tapi kenapa? ”
“ Tidak panting kau bertanya kenapa. Aku sudah berikan keleluasaan untukmu tinggal disini dan kau merasa tercukupi, bukan? Aku tidak suka orang lain masuk ke ruanganku tanpa izin dariku! ”
“ Aku bukan orang lain, melainkan anak kandung ayah sendiri. ”
“ Ya, memang. Kakak-kakakmu Joe maupun Evan tidak berani masuk tanpa izin dariku! ”
“ Kenapa ayah bersikap seperti ini padaku? Selama 14 tahun, aku tidak pernah tahu tentang ibu kandungku sendiri. Setiap kali aku bertanya pada Joe ataupun Evan tapi, mereka tidak pernah mau menceritakannya. ” isak Hanna.
“ Tidak perlu kau meneteskan air mata dihadapanku. Joe dan Evan, memang aku yang menyuruh mereka untuk tidak menceritakan apapun kepadamu! ”
“ Tapi kenapa? Kenapa aku tidak boleh mengenal ibuku? ”
“ Kau ingin tahu, kenapa tidak menceritakan semua hal tentang istriku kepadamu? Dan juga kenapa aku bersikap seperti ini kepadamu? Ini semua karena kau! ”
“ Karena aku? ” heran Hanna.
“ Ya, karena kau! Wanita yang paling kucintai meninggal. Dia meninggal setelah melahirkanmu! Kau yang menyebabkan istriku meninggal. Paham kau sekarang kenapa aku bersikap ini kepadamu? ”
Hanna hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya dan air matanya tetap mengalir di pipinya.
***
Hanna menangis sepanjang malam, tiada hentinya. Memikirkan perkataan ayahnya yang membuat rasa bersalah pada dirinya semakin besar.
“ Aku yang menyebabkan ibu meninggal. Karena itu sikap ayah berbeda kepadaku. Semua karena aku. Apa yang harus aku lakukan? ” pikir Hanna terus-menerus.
Keesokan paginya, semua hadir sewaktu sarapan. Kecuali Hanna yang masih berada di kamarnya. Kedua kakak Hanna tidak mengetahui kejadian kemarin. Siang harinya, Hanna turun dari kamarnya menuju ruang keluarga. Evan belum pergi kuliah saat itu.
“ Tidak biasanya kau bangun siang. Ada apa? ” Tanya Evan.
“ Tidak ada apa-apa. ” jawab Hanna singkat.
“ Lalu, kenapa matamu sembab seperti sehabis menangis? ”
“ Oh, ini. ” sambil mengusap-usap matanya. “ Aku hanya tidak bisa tidur semalam. ”
“ Kalau begitu, lebih baik kau makan terlebih dahulu. Pagi tadi kau tidak ikut sarapan. ” Evan menyarankan. “ Mau kubuatkan sesuatu? ”
“ Ya. ” jawab Hanna dengan senyum dan anggukan kecil.
Evan sangat pandai memasak tapi, akhir-akhir ini Hanna jarang menikmati makanan yang dibuat kakaknya karena kesibukan Evan membuat skripsi dan mengikuti ujian praktek. Evan memilih mengambil pendidikan sebagai dokter dibanding meneruskan bisnis yang diberikan oleh ayahnya. “ Otakku tidak bisa digunakan untuk persoalan bisnis. “ pikir Evan. Ada benarnya juga, dari pada saling berebut untuk mandapatkan sebuah tender lebih baik menolong orang banyak. Lebih bermanfaat.
“ Pasta kesukaanmu. ” Evan memberikan piring yang berisi pasta dengan taburan keju diatasnya kepada Hanna yang sudah menunggu di meja makan.
“ Terima kasih. ”
“ Kau ada masalah? ” tanya Evan yang masih penasaran dengan sikap tidak biasa adiknya.
“ Ah, apa? Tidak ada. ”
“ Aku rasa ada yang aneh denganmu. ”
“ Tidak ada apa-apa, Kak. Pasta buatan kakak tiada duanya. Enak. ” Hanna mengalihkan pertanyaan Evan dengan mengomentari rasa Pastanya.
“ Kau tidak meminjam buku dari ruangan ayah lagi hari ini? ”
“ Oh, mungkin nanti. Memang kenapa? ’’
“ Biasanya setiap pagi setelah ayah pergi, kau langsung ke ruangan ayah. ”
“ Buku yang kemarin belum kubaca seluruhnya. Jadi, aku mau baca buku itu sampai selesai. Lalu, aku akan ke ruangan ayah untuk pinjam buku yang lain. ”
“ Ada yang kau sembunyikan dariku, Hanna? ”
Hanna tidak menjawab dan tetap melanjutkan memakan makanannya.
“ Hanna, jawab aku! Aku bukan baru mengenalmu hari ini. Aku tahu semua sifatmu, dan hari ini kau begitu berbeda dari biasanya. Ada apa sebenarnya? Bicara jujur padaku! ”
Hanna masih tetap diam. Tanpa mengucapkan satu katapun.
“ Hanna! ” tegas Evan.
Joe yang baru pulang dari latihan basket rutinnya, langsung menghampiri mereka berdua ke ruang makan.
“ Ada apa ini? ” tanya Joe heran.
“ Tidak ada apa-apa. ” jawab Hanna.
“ Jangan berbohong! Aku juga sudah merasa kalau ada sesuatu yang terjadi yang tidak aku dan Evan ketahui. ” duga Joe.
“ Sudah aku bilang, tidak ada apa-apa. Jika, aku punya masalah pasti aku cerita pada kalian, kan? ”
Semua terdiam sejenak. Tiba-tiba…
“ Apa, apa semua karena aku? ”
Evan dan Joe saling pandang. Lalu, menatap Hanna kembali. Menunggu kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya.
“ Ayah menyuruh kalian untuk tidak memberitahukan kepadaku tentang ibu. Benar begitu, kan? ”
“Evan dan aku… Eh, apa? Bagaimana kau bisa tau? ’’
“ Jadi semua itu benar. Aku yang menyebabkan ibu meninggal. Ibu meninggal karena melahirkanku, kan? Bisa dibilang, aku yang membunuh ibu kandungku sendiri! ”
“ Hanna, jaga bicaramu! ” bentak Evan.
“ Jadi, kau sudah tau semua? ”
“ Ayah yang memberitahumu? ”
Hanna tidak merespon apapun.
“ Aku akan menelepon ayah. ” usul Joe.
“ Jangan! ” Evan melarang.
“ Kenapa? ”
“ Biar ayah yang memutuskan. ”
***
Tiga hari sudah berlalu. Tak ada satupun yang mengungkit masalah itu. Hanna sudah tidak pernah masuk ke ruangan ayahnya semenjak kejadian yang membuat dirinya terus merasa bersalah. Menghabiskan waktunya dengan cara mendengarkan musik apapun yang terdengar bagus untuk didengar. Jika tidak